selamat hari jumat dan ketemu lagi nih sama tinkerbell yang berubah jadi berbi ^_^
udah lama banget ya gue ga ngepost cerita pendek alias cerpen?
ya walaupun gak banyak yang berminat buat baca beginian, gue mau "pamer" aja kalo ini adalah salah satu hobi gue dari kecil. yep, bikin cerpen! yuk langsung aja dibaca.
>>>>>>
Caroline baru saja kedatangan seorang
tetangga baru, persis di sebelah rumahnya. Ia melihat sebuah mobil pengantar
barang yang amat besar. Petugas-petugas berseragam dari mobil
pengantar barang itu berlalu-lalang memasukan barang ke rumah yang cukup besar
itu. Tiba-tiba ia terkejut melihat seorang kakek tua yang memakai jubah putih
berada di depan rumah tetangga barunya. Caroline melihat kakek tua itu dari
kepala sampai ke kaki.
Bukankah itu hantu? gumam Caroline.
Di sore hari, Caroline beserta teman-temannya
bermain di taman yang berada di tengah perumahan. Setelah mereka lelah bermain,
Caroline menceritakan apa yang ia lihat saat tetangga barunya itu berpakaian.
“kakek itu seperti hantu!” ucap Caroline heboh.
Caroline melanjutkan ceritanya lagi.
Teman-temannya mendengarkan ceritanya dengan seksama.
“benarkah? Ia menatapmu dengan
tajam?” tanya teman Caroline tidak kalah heboh.
“betul! Ia menatapku seperti ini,”
Caroline menirukan tatapan dari kakek tua setajam mungkin saat kakek itu
menatap Caroline. Teman-temannya bergidik seram.
“apakah ia tidak membawa senjata
tajam?” tanya temannya yang lain, membuat semua anak yang berada disana
mengiyakan pertanyaan temannya.
Caroline menggeleng pelan. “Tidak,
tetapi....” ia berfikir sejenak. “Aku melihat sebuah kotak kayu yang sangat
besar.” Katanya dengan lambat.
“jangan-jangan itu senjatanya!” ucap
Gio, teman Caroline dengan tiba-tiba sampai membuat anak-anak yang berada di
sekitarnya terkejut. Sebagian memukul anak bertubuh kurus itu, sebagian lagi
hanya misuh-misuh sambil memegang jantung mereka masing-masing yang berdetak
lebih cepat dari sebelumnya.
Caroline menanggapinya dengan tertawa
pelan, ada rasa takut di dalam hatinya. Tetapi ia berusaha membuang rasa takut
itu.
“Aku harap itu bukan sebongkah
senjata.” Jawabnya pelan.
Tak terasa bulan telah menunjukan
wajahnya, para anak-anak itu mengucapkan selamat jumpa satu dengan yang lain,
lalu pergi ke rumahnya masing-masing. Hanya caroline yang tinggal di blok yang
berbeda dengan teman-temannya. Ia sudah biasa berjalan sendirian saat selesai
bermain, tetapi kali ini ada rasa yang berbeda yang muncul di dalam dirinya
setelah menceritakan tetangga tua itu. Bulu kuduknya berdiri seketika, ia yang
mempercepat jalannya, bahkan berlari untuk menuju ke rumahnya dengan segera.
Saat ia berlari melewati rumah kakek
tua itu, ia mencium aroma bunga-bunga yang sangat menusuk. Bulu kuduknya
kembali berdiri, dan Caroline mempercepat lajunya.
“Ibu, apa
Ibu tau tetangga baru kita?” tanya Caroline saat makan malam dengan keluarganya.
“Tentu saja.
Ada apa dengan tetangga baru kita, Carol?” jawab ibunya sambil menaruh piring
di atas meja.
“Apakah
kakek tua itu menyeramkan?” tanya Caroline lagi.
“Ia kakek
yang baik, Caroline. Sudah, makanlah. Ini masakan kesukaanmu.” Ucap Ibunya.
Caroline
tidak bertanya lagi, ia menghabiskan masakan Ibunya secepat kilat, lalu
beranjak dari sana menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Matahari
pagi menyinari wajahnya. Ia membuka matanya perlahan, beradaptasi dengan cahaya
matahari. Caroline melihat jam, pukul tujuh kurang dua puluh menit.
“Yaampun!
Mengapa aku bangun sesiang ini?” katanya dan langsung meluncur ke kamar mandi,
lalu berangkat ke sekolah tanpa menghabiskan sarapannya.
Ia berlari kembali, dan tentunya melewati
rumah kakek tua itu. Rumahnya cukup lebar sehingga rasanya begitu lama jika
berjalan melewati rumah itu. Dan lagi-lagi, ia mencium aroma bunga-bungaan yang
berasal dari rumah tetangga barunya.
Apa yang ia lakukan? Tanyanya dalam hati sambil terus berlari menuju ke sekolahnya.
Sesampainya
di sekolah, teman-temannya menatap wajah Caroline dengan pebuh tanda tanya.
Wajah Caroline begitu pucat saat ia duduk di sebelah Vani, teman sebangkunya.
“apa yang
terjadi? Wajahmu begitu pucat!” tanya Gio dan diikuti dengan teman-temannya
yang mulai mengerumuni meja Caroline.
“Apakah kau
habis bertemu dengan kakek tua itu?” tanya Jeni, salah satu teman Caroline yang
kemarin mendengar ceritanya.
“Tidak,
tetapi aroma dari rumahnya!” ucap Caroline sambil mengatur nafasnya.
“Kau bertemu
dengan aroma rumahnya? Bagaimana bentuknya?” tanya Gio yang ditanggapi dengan
pukulan oleh Vani.
“itu sangat
menyeramkan! Aku mencium aroma itu sejak tadi malam.” Ucap Caroline lagi,
membuat sebagian anak yang berada di kerumunan berbisik satu dengan yang lain.
Bagaimana itu bisa terjadi?
“Ayo besok kita cari tahu siapa kakek
itu!” seru Nico, si pemberani dari belakang. Semua anak memutar kepalanya untuk
mencari tau keberadaan Nico.
“Ide yang
bagus. Aku ikut!” ucap Gio sambil mengepalkan tangannya ke atas, lalu disusul
dengan Vani.
Caroline
menatap teman-temannya. Perasaan senang dan takut tercampur di dalam hatinya.
Esok
adalah hari yang paling menegangkan baginya.
Setelah
pulang sekolah, Caroline, Gio, Vani, dan Nico pergi ke rumah Caroline untuk
menyusun sebuah rencana.
“Apa yang
akan kita lakukan jika kakek itu menyerang kita?” tanya Vani penasaran.
Caroline membenarkan ucapan Vani dengan menganggukan kepalanya.
“Kita
berteriak sekencang mungkin. Gampang, bukan?” jawab Gio dengan santai tanpa
rasa takut.
Sementara
Nico terlihat gugup sambil menggigit jarinya.
Setelah mempersiapkan
semua yang mereka butuhkan, mereka mulai melangkahkan kaki ke keluar rumah.
“Aku takut!”
ucap Nico yang langsung disambut dengan tatapan sinis oleh Vani.
Tak sampai 5
menit mereka sudah sampai di depan rumah kakek “beraroma” itu. Gio yang berada
di paling depan mulai menginjak teras rumah tetangga baru Caroline itu.
Mereka berempat
sudah mulai membuka pintu rumah yang tak dikunci oleh sang pemilik, kakek tua. Aku tau ini emang tidak sopan, tetapi aku
harus mencari tahu siapa kakek tua itu, gumam Caroline sambil menelusuri
rumah yang cukup gelap itu.
“Ahh! Apa ini?!”
seru Nico hingga membuat mereka bertiga menatap ke arah meja yang dilihat Nico.
Gio
mendekati meja itu. “Bercak darah?” ucapnya pelan tetapi Caroline dan
teman-temannya dapat mendengarnya.
“Ayo kita
tinggalkan rumah ini!” kata Nico dengan tubuh yang sudah bergetar hebat.
“Tidak.” Jawab
Vani. “Aku yakin ada sesuatu yang tidak menyeramkan di rumah ini, dan juga
kakek tua itu.”
Tiba-tiba
ada langkah kaki yang amat berat suaranya. Mereka berempat membeku sambil
menatap bayangan yang cukup besar dari belakang sana.
Nah! Kira-kira kalian tau gak apa yang terjadi setelah mereka
bertemu dengan kakek tua itu?
hohohoho,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
typo? sorry
salam,
wica yang suka gantungin orang
0 komentar:
Posting Komentar